Jalan Untuk Kembali
Bintang-bintang
di galaksi kian redup,
Sang
venus mulai terlihat jelas,
Jauh
di ufuk timur sana,
Tapi,
siapa yang tahu luka ini
Seredup
bintang itukah kalutnya perasaanku,
Semerah
Venus-kah goresan lukaku
Sejauh
itukah jarak di antara kita?
Tapi,
bisakah kau ajariku,
Melebur
dalam gelap,
Tanpa
harus lenyap,
Seperti
kepergianmu,
Yang
lebur dalam gelapnya emosi,
Tapi
tak lenyap dari ilusi
Kembali
ku termenung di atas kasarnya batu karang di bawah merahnya goresan awan senja
di ujung sana. Kurasakan hempasan semilir angin pantai yang cukup sejuk.
Lagi-lagi otakku bermain-main dengan drama khayalan yang aku buat. Hampir
setiap waktu drama-drama itu terputar otomatis pada cakrawala ingatanku. Hati
ini beku. Entah apa dan siapa yang bisa menghangatkan hati dan perasaanku saat
ini. Tanpa sadar suara binatang malam telah melakukan canon untuk menyambut
tergelincirnya matahari. Aku berjalan gontai menjauh dari tepi pantai. Sesekai
kaki kecilku ini menendangi batu-batu kecil di dekatku.
“Hey!
Minggir!” aku mendengar suara orang berteriak ke arahku. Hei, sepeda itu kenapa
melaju cepat sekali. Ahh, tidakk! Tiba-tiba saja, “BRUKKK...” aku rasakan perih
yang menjalar di sekitar lututku. Berasa dingin seperti ada sesuatu yang
mengalir. Darah. Ternyata lumayan keras juga sepeda itu menghantam kakiku.
“Aduh,
gimana ini. Ikut aku ke pos yuk, biar aku obatin,” ajaknya dengan ramah. Namun
terihat segaris wajah cemas dan panik di sana. Dia memapahku menuju pos di
ujung pantai. Kakiku yang yang berdarah tadi sekarang berubah menjadi putih,
dibalut oleh perban yang luar biasa tebal. Maklum, pria itu sendiri yang membalut
lukaku ini. Jadi hanya asal potong. “Aduh, maaf ya. Gara-gara rem sepedaku
blong kaki kamu jadi kaya gini deh. Aku tadi hilang kendali,” ucap pria itu
sembari membersihkan luka di lututku.
“Iya,
ngga apa-apa kok. Aku juga tadi jalan sambil ngelamun. Tiba-tiba aja ‘brukk’
kakiku terasa sakit,” tuturku sambil tertawa geli mengingat kejadian tadi.
“Hahha.
Emm, oiya. Kenalin aku Rafa. Aku di sini ngekos aja. Bukan penduduk asli. Nama
kamu siapa?” akhirnya aku tau juga siapa nama laki-laki itu. Rafa. Orang itu
mirip sekali dengan orang yang sering bermain di drama miniku. Sosok orang yang
sempat hadir di masa lalu, Bima. Sekilas wajah Rafa dan Bima memang mirip. Eh,
tapi? Mirip banget malah. Apa mungkin mereka berdua saudara kembar? Mana
mungkin. Dulu Bima tidak pernah bilang kalau dia punya saudara kembar.
“Aku
Raunny, aku di sini juga ngekos. Kos-kosan ku juga ngga jauh dari sini. Makanya
hampir tiap sore aku dateng ke pantai,” aku menjelaskan secara singkat
kebiasaan harianku.
Di
beranda pos ini aku mengobrol lumayan lama dengan Rafa. Suara adzan Maghrib
dari masjid di seberang jalan sana sayup-sayup mulai terdengar. Aku memutuskan
untuk kembali ke kos-kosanku. Tapi Rafa bersikeras mengantarku pulang, padahal
aku sudah menolaknya.
Kini
hampir tiap senja aku mengunjungi pantai bersama Rafa. Orang itu sungguh
mengantarkanku pada ingatan silam bersama orang terindah di masa lalu. Bibirku
kembali smiled down ketika aku mengingat Bima. Seseorang yang pergi
meninggalkanku tanpa alasan. Dan sekarang dia seperti hilang ditelan bumi. Aku
tak tahu bagaimana kabar dia sekarang.
Sikap
Rafa lembut, sama seperti sikap Bima dahulu. Canda tawanya, senyumannya,
tingkah lakunya. Bahkan, wajahnya pun mirip. Sumpah, semua itu sama persis
dengan apa yang ada pada Bima. Ya Allah, kenapa engkau hadirkan seeorang yang
mirip dengan Bima. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya sedangkan orang yang
ada di dekatku saat ini sangat mirip dengan dia.
“Raunny,
kamu kenapa? Kok kayaknya kamu sedih gitu sih?” aku lihat wajah heran Rafa yang
terukir jelas di raut mukanya.
“Ngga,
apa-apa kok Rafa. Cuma lagi inget seseorang aja,” Aku kembali tersenyum saat
hati ini berkoar ingin menangis. Sungguh, aku tidak sanggup.
“Ceritain
aja ke aku, maybe aku bisa bantuin kamu,”
Mungkin
aku bisa berbagi cerita sama Rafa. Siapa tahu dia bisa kasih aku solusi dari
kalutnya hatiku saat ini.
“Kamu
ngingetin aku sama seseorang. Dulu orang itu sempat jadi yang terindah di
kehidupanku. Sudah hampir lima tahun orang itu lenyap dari kehidupanku. Entah
bagaimana kabarnya. Dia seperti hilang ditelan bumi,” aku mencoba menuturkan
apa yang sesungguhnya sedang terjadi padaku. Bibir ini bergetar saat aku
terang-terangan menyebut kenangan masa laluku bersama Bima. Aku menangis. Air
mata ini mengalir mengikuti relief pipiku.
“Kamu
masih sayang sama orang itu ya?” Rafa malah balik bertanya.
“Iya,
Raf. Aku masih sayang banget sama dia. Dulu, orang itu pergi tanpa alasan.
Ngilang gitu aja, pergi ninggalin aku seolah-olah dia tidak bersalah. Aku sendiri
bingung, dia udah nyakitin aku gitu, tapi hati ini tetap berontak buat terus
nungguin dia, terus sayang sama dia. Padahal aku sendiri tau, rasa sayangku ke
dia ini mungkin cuma tersimpan secara sia-sia aja. Dimana dia, masih sayangkah
dia. Aku tak tahu, yang aku tau saat ini, aku ingin melupakannya, aku ingin
jadi amnesia” aku semakin menangis sejadi-jadinya. Ini kali pertama aku
menceritakan pedihnya perasaanku terhadap orang lain. Sosok Rafa membuatku
percaya, bahwa ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat hati ini tenang.
Dan memang, aku serasa lebih lega setelah bercerita panjang lebar ke dia.
“Husst,
jangan bilang gitu. Bersyukurlah kamu masih diberi ingatan yang sempurna
oleh-Nya. Di luar sana banyak orang yang ingin sembuh dari amnesia, mereka
ingin bisa mengingat masa lalunya kembali. Biarpun masa lalu itu terkadang
menyakitkan, tapi semua itu bisa jadi pelajaran berharga dikemudian hari. Aku
sendiri juga gitu, aku ingin sembuh dari amnesiaku ini,”
Hah?
Ternyata Rafa terkena amnesia? Ya Allah. Ternyata di balik keceriaannya saat
ini, dia sedang mencoba mengingat kembali masa lalunya? Sungguh bodoh aku ini,
seharusnya aku bersyukur memang, telah diberi ingatan yang sempurna oleh-Nya.
“Kamu
amnesia Raf? Sejak kapan?” Aku bertanya keheranan, masih dengan mata yang terus
mengeluarkan air mata. Pipiku semakin basah. Air mata ini malah semakin deras
mengalir.
“Kata
mama papaku, lima tahun silam aku dan mereka ke bandara, hari itu katanya aku
mau berangkat ke Bandung, ngelanjutin Senior di sini untuk pertama kalinya.
Tapi, tiba-tiba aja mobil yang ayahku kendaliin remnya blong. Mobil itu menabrak
pohon besar yang ada di pinggir jalan. Orang tuaku ngga kenapa-kenapa, tapi
kepalaku membentur kaca mobil terlalu keras jadi aku amnesia gini. Aku hanya
ingat orang tuaku aja. Masa laluku yang lain pun aku tak mengingatnya, tapi...
Auww... kepalaku sakit, pusing,” Rafa
menjelaskan kronologis kejadian kecelakaannya lima tahun silam, meskipun yang
ia ceritakan bukan sepenuhnya yang ia ketahui. Tapi, lima tahun silam adalah
waktu dimana Bima pergi ninggalin aku, apakah mungkin, orang yang amnesia di
hadapanku ini Bima Errafael Saputra?
“Rafa?
Kamu kenapa? Kita balik yuk? Aku anterin ke rumah sakit,” aku cukup panik
melihat Rafa mengerang kesakitan seperti itu. Seperti ada sesuatu di bagian
kepalanya. Dari tadi ia memegangi kepalanya itu.
“Aku....
Ng...ngga kenapa – kenapa kok. Dan, aku... Aku mulai mengingatnya. Yaa, A... Aku
ingat! Namaku Bima Errafael Saputra, Dan, kamu? Aku seperti mengenalmu di masa
lalu,” Rafa masih terus memegangi kepalanya. Aku tak tega melihatnya seperti
itu. Rasanya pasti sangat sakit. Rafa masih terus saja bergumam, mungkin
otaknya sedang bermain dengan drama mini seperti apa yang sering bermain di
ingatanku.
“Rafa,
kamu ngga apa-apa kan? Aduhh, udah. Jangan dipaksain inget gitu. Kasian
kamunya,” aku semakin ngga tega melihat Rafa kaya gitu. Apa yang ia ucapin dari
tadi aku tak mendengarnya. Aku terlalu cemas melihat keadaannya yang seperti ini.
“Raunny,
aku inget semuanya. Kamu Raunny Angelia kan? Pacarnya Bima waktu masih junior?
Kamu orang yang pernah di sukain sama Aji kan pas kamu masih jadian sama Bima?
Aku inget sama kamu. Iya, kamu pasti Raunny. Ngga mungkin salah. Dari awal aku
nabrak kamu itu, wajah kamu kaya ngga asing lagi. Ini aku Bima, nama panggilan
asliku. Bukan Rafa,”
Degg.
Jantung ini serasa berhenti berdetak. Mataku semakin panas menahan air mata
yang mendesak ingin keluar. Aishh! Dia? Bima? Apakah mungkin? Kalau bukan,
kenapa dia bisa tau detail masa laluku? Kalau iya, begitu bodohnya aku, dulu
aku tidak tahu kalau Bima sempat mengalami kecelakaan.
“Kamu
beneran Bima? Kamu ngga lagi ngarang cerita kan? Aku emang udah nyadarin, semua
tentang kamu memang mirip kaya Bima. Tapi, apa mungkin? Bagaimana mungkin kita
dipertemukan kembali di sebuah kota yang jauh dari kota asal kita?” aku masih
tak percaya. Air mata ini tak lagi tertahankan. Dan akhirnya air mata ini pecah
membanjiri pipiku.
“Iya,
aku benar-benar sudah ingat masa laluku. Aku ini beneran Bima. Aku masih inget
banget semua tentang kita. Aku memilih ngelanjutin kuliah di sini karena aku
ngerasa ada sebuah tempat yang berkesan. Hari ini, aku mulai ingat kembali kenangan
di tempat itu. Aku mulai inget, waktu tour ke Bandung kita duduk bareng di
samping fosil Dinosaurus Aku mulai inget waktu kita makan bareng di bawah pohon
deket Museum Geologi, iyaa aku pasti tidak salah mengingat kejadian itu. Semua
itu bener kan?”
Ya,
dia memang benar-benar Bima. Dia ingat kenangan tak terlupakan di Museum
Geologi. Ya Allah, aku ngga nyangka detik ini aku masih bisa dipertemukan
kembali dengannya.
“Bimaa,
kamu dulu jahat banget sih? Kenapa kamu ninggalin aku tanpa alesan gitu?”
“Aku
dulu emosi banget Raunny. Aku cemburu sama Aji. Dia sering banget deket-deket
kamu, bahkan sampe nembak kamu segala, akhirnya diujung kelulusan aku milih pergi
ke Bandung ini buat ngelanjutin SMA. Bukan maksudku buat ngelupain kamu. Tapi,
aku malah amnesia, jadi ngga inget apa-apa lagi tentang masa lalu kita,”
penjelasan ini yang dari dulu aku tunggu, dan akhirnya setelah lima tahun aku
menanti sebuah jawaban, penantian itu telah terjawab.
“Bima...
maaf ya, aku terlalu buta. Aku ngga liat perasaan orang lain. Aku sayang kamu.
Aku juga ngga mau liat Aji sedih gitu,”
“Iya,
Raunny. Aku juga minta maaf ya, udah ninggalin kamu tanpa alasan gitu. Aku
masih sayang kamu,”
Hari-hariku
berubah, setelah ada Bima, yang hadir kembali di hidupku. Bintang itu kembali
terang. Kisah masa lalu yang belum sempat terjawab, dan belum terselesaikan.
Akhirnya mulai hari ini kembali berlanjut. Bima, orang yang kemarin hanya
bermain di drama miniku. Kini dia hadir kembali di kehidupan nyataku.
Terimakasih Yaa Allah. Sungguh, jalan-Mu tiada seorangpun yang tahu. Sesuatu
yang indah itu akan terwujud pada waktunya. Aku tahu, rencana-Mu lebih indah
dari apa yang aku rencanakan.
@...@...@
Komentar
Posting Komentar